Selasa, 28 September 2010

MUNAKAHAT

PEMBAHASAN
1) Rukun dan syarat nikah
A.Rukun nikah
1. Adanya calon suami dan istri yang tidak terhalang dan terlarangsecara syar’i untuk menikah. Di antara perkara syar’i yang menghalangi keabsahan suatu pernikahan misalnya si wanita yang akan dinikahi termasuk orang yang haram dinikahi oleh si lelaki karena adanya hubungan nasab atau hubungan penyusuan. Atau, si wanita sedang dalam masa iddahnya dan selainnya. Penghalang lainnya misalnya si lelaki adalah orang kafir, sementara wanita yang akan dinikahinya seorang muslimah.
2. Adanya ijab, yaitu lafadz yang diucapkan oleh wali atau yang menggantikan posisi wali. Misalnya dengan si wali mengatakan, “Zawwajtuka Fulanah” (“Aku nikahkan engkau dengan si Fulanah”) atau “Ankahtuka Fulanah” (“Aku nikahkan engkau dengan Fulanah”).
3. Adanya qabul, yaitu lafadz yang diucapkan oleh suami atau yang mewakilinya, dengan menyatakan, “Qabiltu Hadzan Nikah” atau “Qabiltu Hadzat Tazwij” (“Aku terima pernikahan ini”) atau “Qabiltuha.”
Dalam ijab dan qabul dipakai lafadz inkah dan tazwij karena dua lafadz ini yang datang Al-Qur`an. Seperti firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
 فَلَمَّا قَضَى زَيْدٌ مِنْهَا وَطَرًا زَوَّجْنَاكَهَا
“Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluannya terhadap istrinya (menceraikannya), zawwajnakaha1 (Kami nikahkan engkau dengan Zainab yang telah diceraikan Zaid).” (Al-Ahzab: 37)
Dan firman-Nya:
 وَلاَ تَنْكِحُوا مَا نَكَحَ آبَاؤُكُمْ مِنَ النِّسَاءِ
“Janganlah kalian menikahi (tankihu2) wanita-wanita yang telah dinikahi oleh ayah-ayah kalian (ibu tiri).” (An-Nisa`: 22)
B.Syarat nikah
Syarat pertama: Kepastian siapa mempelai laki-laki dan siapa mempelai wanita dengan isyarat (menunjuk) atau menyebutkan nama atau sifatnya yang khusus/khas. Sehingga tidak cukup bila seorang wali hanya mengatakan, “Aku nikahkan engkau dengan putriku”, sementara ia memiliki beberapa orang putri.
Syarat kedua: Keridhaan dari masing-masing pihak, dengan dalil hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu secara marfu’:
 لاَ تُنْكَحُ اْلأَيِّمُ حَتَّى تُسْتَأْمَرَ وَلاَ تُنْكَحُ الْبِكْرُ حَتَّى تُسْتَأْذَنَ
“Tidak boleh seorang janda dinikahkan hingga ia diajak musyawarah/dimintai pendapat, dan tidak boleh seorang gadis dinikahkan sampai dimintai izinnya.” (HR. Al-Bukhari no. 5136 dan Muslim no. 3458)
Terkecuali bila si wanita masih kecil, belum baligh, maka boleh bagi walinya menikahkannya tanpa seizinnya.
Syarat ketiga: Adanya wali bagi calon mempelai wanita, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
 لاَ نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ
“Tidak ada nikah kecuali dengan adanya wali.” (HR. Al-Khamsah kecuali An-Nasa`i, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Al-Irwa` no. 1839)
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
 أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ مَوَالِيْهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ
“Wanita mana saja yang menikah tanpa izin wali-walinya maka nikahnya batil, nikahnya batil, nikahnya batil.” (HR. Abu Dawud no. 2083, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Abi Dawud)
Apabila seorang wanita menikahkan dirinya sendiri tanpa adanya wali maka nikahnya batil, tidak sah. Demikian pula bila ia menikahkan wanita lain. Ini merupakan pendapat jumhur ulama dan inilah pendapat yang rajih. Diriwayatkan hal ini dari ‘Umar, ‘Ali, Ibnu Mas’ud, Ibnu ‘Abbas, Abu Hurairah dan Aisyah radhiyallahu ‘anhum. Demikian pula pendapat yang dipegangi oleh Sa’id ibnul Musayyab, Al-Hasan Al-Bashri, ‘Umar bin Abdil ‘Aziz, Jabir bin Zaid, Ats-Tsauri, Ibnu Abi Laila, Ibnu Syubrumah, Ibnul Mubarak, Ubaidullah Al-’Anbari, Asy-Syafi’i, Ahmad, Ishaq, dan Abu ‘Ubaid rahimahumullah. Al-Imam Malik juga berpendapat seperti ini dalam riwayat Asyhab. Adapun Abu Hanifah menyelisihi pendapat yang ada, karena beliau berpandangan boleh bagi seorang wanita menikahkan dirinya sendiri ataupun menikahkan wanita lain, sebagaimana ia boleh menyerahkan urusan nikahnya kepada selain walinya. (Mausu’ah Masa`ilil Jumhur fil Fiqhil Islami, 2/673, Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi, 2/284-285
2) Perwalian
Paling tidak harus ada 4 (empat) hal pokok yang menjadi rukun atas syahnya sebuah pernikahan. Bila salah satu dari semua itu tidak terpenuhi, batallah status pernikahan itu. Yaitu [1] Wali, [2] Saksi, [3] Ijab Kabul (akad) [4] Mahar.


I. Wali
Keberadaan wali mutlak harus ada dalam sebuah pernikahan. Sebab akad nikah itu terjadi antara wali dengan pengantin laki-laki. Bukan dengan pengantin perempuan.
Sering kali orang salah duga dalam masalah ini. Sebab demikianlah Islam mengajarkan tentang kemutlakan wali dalam sebuah akad yang intinya adalah menghalalkan kemaluan wanita. Tidak mungkin seorang wanita menghalalkan kemaluannya sendiri dengan menikah tanpa adanya wali.
1. Siapakah yang bisa menjadi wali ?
Wali tidak lain adalah ayah kandung seorang wanita yang secara nasab memang syah sebagai ayah kandung. Sebab bisa jadi secara biologis seorang laki-laki menjadi ayah dari seorang anak wanita, namun karena anak itu lahir bukan dari perkawinan yang syah, maka secara hukum tidak syah juga kewaliannya.
2. Syarat Seorang Wali
2.1. Beragama Islam
2.2. Berakal
2.3. Baligh
2.4. Merdeka
.
3. Urutan Wali
Dalam mazhab syafi'i, urutan wali adalah sebagai berikut :
3.1. Ayah kandung
3.2. Kakek, atau ayah dari ayah
3.3. Saudara (kakak / adik laki-laki) se-ayah dan se-ibu
3.4. Saudara (kakak / adik laki-laki) se-ayah saja
3.5. Anak laki-laki dari saudara yang se-ayah dan se-ibu
3.6. Anak laki-laki dari saudara yang se-ayah saja
3.7. Saudara laki-laki ayah
3.8.Anak laki-laki dari saudara laki-laki ayah (sepupu)
4. Wali 'Adhal
Seorang ayah kandung yang tidak mau menikahkan anak gadisnya disebut dengan waliyul adhal, yaitu wali yang menolak menikahkan.

3.Wanita Yang Haram DiNikahi
1. Mahram
1.2. Pengertian
Mahram adalah sebuah istilah yang berarti wanita yang haram dinikahi. Mahram berasal dari makna haram, yaitu wanita yang haram dinikahi. Sebenarnya antara keharaman menikahi seorang wanita dengan kaitannya bolehnya terlihat sebagian aurat ada hubungan langsung dan tidak langsung.
Hubungan langsung adalah bila hubungannya seperti akibat hubungan faktor famili atau keluarga. Hubungan tidak langsung adalah karena faktor diri wanita tersebut. Misalnya, seorang wanita yang sedang punya suami, hukumnya haram dinikahi orang lain. Juga seorang wanita yang masih dalam masa iddah talak dari suaminya. Atau wanita kafir non kitabiyah, yaitu wanita yang agamanya adalah agama penyembah berhala seperi majusi, Hindu, Buhda.
Hubungan mahram ini melahirkan beberapa konsekuensi, yaitu hubungan mahram yang bersifat permanen, antara lain :
1. Kebolehan berkhalwat (berduaan)
Kebolehan bepergiannya seorang wanita dalam safar lebih dari 3 hari asal ditemani mahramnya.
2. Kebolehan melihat sebagian dari aurat wanita mahram, seperti kepala, rambut, tangan dan kaki.
Sedangkan hubungan mahram yang selain itu adalah sekedar haram untuk dinikahi, tetapi tidak membuat halalnya berkhalwat, bepergian berdua atau melihat sebagian dari auratnya. Hubungan mahram ini adalah hubungan mahram yang bersifat sementara saja.
1.2. Mahram Dalam Surat An-Nisa
Allah SWT telah berfirman dalam surat An-Nisa :
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالاَتُكُمْ وَبَنَاتُ الأَخِ وَبَنَاتُ الأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللاَّتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُم مِّنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَآئِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللاَّتِي فِي حُجُورِكُم مِّن نِّسَآئِكُمُ اللاَّتِي دَخَلْتُم بِهِنَّ فَإِن لَّمْ تَكُونُواْ دَخَلْتُم بِهِنَّ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلاَئِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلاَبِكُمْ وَأَن تَجْمَعُواْ بَيْنَ الأُخْتَيْنِ إَلاَّ مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّ اللّهَ كَانَ غَفُورًا رَّحِيمًا
Diharamkan atas kamu ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan ; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu ; anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu , maka tidak berdosa kamu mengawininya; isteri-isteri anak kandungmu ; dan menghimpunkan dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.(QS. An-Nisa : 23)
Dari ayat ini dapat kita rinci ada beberapa kriteria orang yang haram dinikahi. Dan sekaligus juga menjadi orang yang boleh melihat bagian aurat tertentu dari wanita. Mereka adalah :
 Ibu kandung
 Anak-anakmu yang perempuan
 Saudara-saudaramu yang perempuan,
 Saudara-saudara bapakmu yang perempuan
 Saudara-saudara ibumu yang perempuan
 Anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki
 Anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan
 Ibu-ibumu yang menyusui kamu
 Saudara perempuan sepersusuan
 Ibu-ibu isterimu
 Anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri,
 Isteri-isteri anak kandungmu

2. Pembagian Mahram Sesuai Klasifikasi Para Ulama
Tentang siapa saja yang menjadi mahram, para ulama membaginya menjadi dua klasifikasi besar. Pertama mahram yang bersifat abadi, yaitu keharaman yang tetap akan terus melekat selamanya antara laki-laki dan perempuan, apa pun yang terjadi antara keduanya. Kedua mahram yang bersifat sementara, yaitu kemahraman yang sewaktu-waktu berubah menjadi tidak mahram, tergantung tindakan-tindakan tertentu yang terkait dengan syariah yang terjadi.
2. 1. Mahram Yang Bersifat Abadi
2.1.1. Mahram Karena Nasab
 Ibu kandung dan seterusnya keatas seperti nenek, ibunya nenek.
 Anak wanita dan seteresnya ke bawah seperti anak perempuannya anak perempuan.
 Saudara kandung wanita.
 `Ammat / Bibi (saudara wanita ayah).
 Khaalaat / Bibi (saudara wanita ibu).
 Banatul Akh / Anak wanita dari saudara laki-laki.
 Banatul Ukht / anak wnaita dari saudara wanita.

2.1.2. Mahram Karena Mushaharah (besanan/ipar) Atau Sebab Pernikahan
 Ibu dari istri (mertua wanita).
 Anak wanita dari istri (anak tiri).
 Istri dari anak laki-laki (menantu peremuan).
 Istri dari ayah (ibu tiri).

2.1.3. Mahram Karena Penyusuan
 Ibu yang menyusui.
 Ibu dari wanita yang menyusui (nenek).
 Ibu dari suami yang istrinya menyusuinya (nenek juga).
 Anak wanita dari ibu yang menyusui (saudara wanita sesusuan).
 Saudara wanita dari suami wanita yang menyusui.
 Saudara wanita dari ibu yang menyusui.

2.2. Mahram Yang Bersifat Sementara
Kemahraman ini bersifat sementara, bila terjadi sesuatu, laki-laki yang tadinya menikahi seorang wanita, menjadi boleh menikahinya. Diantara para wanita yang termasuk ke dalam kelompok haram dinikahi secara sementara waktu saja adalah :
2.2.1 Istri orang lain
2.2.2. Saudara ipar
2.2.3. Wanita yang masih dalam masa Iddah
2.2.4. Istri yang telah ditalak tiga
2.2.5. Menikah dalam keadaan Ihram
2.2.6. Menikahi wanita
2.2.7. Menikahi wanita pezina
2.2.8. Menikahi istri yang telah dili`an.
2.2.9. Menikahi wanita non muslim yang bukan kitabiyah atau wanita
3. Hukum Menikahi Wanita Ahli Kitab
4. Hukum Menikahi Wanita Yang Pernah Berzina
الزَّانِي لَا يَنكِحُ إلَّا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لَا يَنكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ
Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mu`min. (QS. An-Nur : 3)
Lebih lanjut perbedaan pendapat itu adalah sbb :
1. Pendapat Jumhur (mayoritas) ulama
Jumhurul Fuqaha mengatakan bahwa yang dipahami dari ayat tersebut bukanlah mengharamkan untuk menikahi wanita yang pernah berzina. Bahkan mereka membolehkan menikahi wanita yang pezina sekalipun. Lalu bagaimana dengan lafaz ayat yang zahirnya mengharamkan itu ?
Para fuqaha memiliki tiga alasan dalam hal ini.
 Dalam hal ini mereka mengatakan bahwa lafaz `hurrima` atau diharamkan di dalam ayat itu bukanlah pengharaman namun tanzih (dibenci).
 Selain itu mereka beralasan bahwa kalaulah memang diharamkan, maka lebih kepada kasus yang khusus saat ayat itu diturunkan. Yaitu seorang yang bernama Mirtsad Al-ghanawi yang menikahi wanita pezina.
 Mereka mengatakan bahwa ayat itu telah dibatalkan ketentuan hukumnya (dinasakh) dengan ayat lainnya yaitu :
وَأَنكِحُوا الْأَيَامَى مِنكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِن يَكُونُوا فُقَرَاء يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِن فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas lagi Maha Mengetahui. (QS. An-Nur : 32)
Pendapat ini juga merupakan pendapat Abu Bakar As-Shiddiq ra dan Umar bin Al-Khattab ra dan fuqaha umumnya. Mereka membolehkan seseorang untuk menikahi wanita pezina. Dan bahwa seseorang pernah berzina tidaklah mengharamkan dirinya dari menikah secara syah.
Pendapat mereka ini dikuatkan dengan hadits berikut :
Dari Aisyah ra berkata,`Rasulullah SAW pernah ditanya tentang seseorang yang berzina dengan seorang wanita dan berniat untuk menikahinya, lalu beliau bersabda,`Awalnya perbuatan kotor dan akhirnya nikah. Sesuatu yang haram tidak bisa mengharamkan yang halal`. (HR. Tabarany dan Daruquthuny).
Juga dengan hadits berikut ini :
Seseorang bertanya kepada Rasulullah SAW,`Istriku ini seorang yang suka berzina`. Beliau menjawab,`Ceraikan dia`. `Tapi aku takut memberatkan diriku`. `Kalau begitu mut`ahilah dia`. (HR. Abu Daud dan An-Nasa`i)
Lebih detail tentang halalnya menikahi wanita yang pernah melakukan zina sebelumnya, simaklah pendapat para ulama berikut ini :
a. Pendapat Imam Abu Hanifah
Imam Abu Hanifah menyebutkan bahwa bila yang menikahi wanita hamil itu adalah laki-laki yang menghamilinya, hukumnya boleh. Sedangkan kalau yang menikahinya itu bukan laki-laki yang menghamilinya, maka laki-laki itu tidak boleh menggaulinya hingga melahirkan.
b. Pendapat Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hanbal
Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan laki-laki yang tidak menghamili tidak boleh mengawini wanita yang hamil. Kecuali setelah wanita hamil itu melahirkan dan telah habis masa 'iddahnya. Imam Ahmad menambahkan satu syarat lagi, yaitu wanita tersebut harus sudah tobat dari dosa zinanya. Jika belum bertobat dari dosa zina, maka dia masih boleh menikah dengan siapa pun. Demikian disebutkan di dalam kitab Al-Majmu' Syarah Al-Muhazzab karya Al-Imam An-Nawawi, jus XVI halaman 253.


c. Pendapat Imam Asy-Syafi'i
Adapun Al-Imam Asy-syafi'i, pendapat beliau adalah bahwa baik laki-laki yang menghamili atau pun yang tidak menghamili, dibolehkan menikahinya. Sebagaimana tercantum di dalam kitab Al-Muhazzab karya Abu Ishaq Asy-Syairazi juz II halaman 43.
d. Undang-undang Perkawinan RI
Dalam Kompilasi Hukum Islam dengan instruksi presiden RI no. 1 tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991, yang pelaksanaannya diatur sesuai dengan keputusan Menteri Agama RI no. 154 tahun 1991 telah disebutkan hal-hal berikut :
1. Seorang wanita hamil di luar nikah, dpat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya.
2. Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dpat dilangsungkan tanpa menunggu lebih duhulu kelahiran anaknya.
3. Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.
Untuk lebih jelasnya, silahkan baca buku : Kompilasi Hukum Islam halaman 92 .
2. Pendapat Yang Mengharamkan
Meski demkikian, memang ada juga pendapat yang mengharamkan total untuk menikahi wanita yang pernah berzina. Paling tidak tercatat ada Aisyah ra, Ali bin Abi Thalib, Al-Barra` dan Ibnu Mas`ud. Mereka mengatakan bahwa seorang laki-laki yang menzinai wanita maka dia diharamkan untuk menikahinya. Begitu juga seorang wanita yang pernah berzina dengan laki-laki lain, maka dia diharamkan untuk dinikahi oleh laki-laki yang baik (bukan pezina).
Dari Ammar bin Yasir bahwa Rasulullah SAW bersbda,`Tidak akan masuk surga suami yang dayyuts`. (HR. Abu Daud)
3. Pendapat Pertengahan
Sedangkan pendapat yang pertengahan adalah pendapat Imam Ahmad bin Hanbal. Beliau mengharamkan seseorang menikah dengan wanita yang masih suka berzina dan belum bertaubat. Kalaupun mereka menikah, maka nikahnya tidak syah.

4.THALAK
1. Definisi Thalak
Secara bahasa, thalak berarti pemutusan ikatan. Sedangkan menurut istilah, thalak berarti pemutusan tali perkawinan.
2. Hukum Thalak
Kalau didekati dari sudut pandang hukum Islam, sebenarnya thalak itu bisa saja hukumnya wajib, tetapi terkadang bisa juga menjadi haram, atau juga bisa menjadi mubah dan bisa juga sunnah. Semua tergantung dari keadaan serta situasi yang sedang dialami oleh seseorang dengan pasangannya.
1. Thalak wajib
Thalak wajib adalah thalak yang bertujuan untuk menyelesaikan konflik yang terjadi antara suami dan isteri; jika masing-masing melihat bahwa thalak adalah satu-satunya jalan untuk mengakhiri perselisihan.” Demikian menurut para ulama penganut madzhab Hanbali.
2. Thalak Haram
Thalak yang diharamkan adalah thalak yang dilakukan bukan karena adanya tuntutan yang dapat dibenarkan. Karena, hal itu akan membawa madharat bagi diri sang suami dan juga isterinya serta tidak memberikan kebaikan bagi keduanya. Thalak yang mubah adalah thalak yang dilakukan karena adanya hal yang menuntut ke arah itu, baik karena buruknya perangai si isteri, pergaulan nya yang kurang baik atau hal-hal buruk lainnya.
3. Thalak Sunnah
Sedangkan thalak yang disun natkan adalah thalak yang dilakukan terhadap seorang isteri yang telah berbuat zhalim kepada hak-hak Allah yang harus diembannya, seperti shalat dan kewajiban-kewajiban lainnya, dimana berbagai cara telah ditempuh oleh sang suami untuk menyadarkannya, akan tetapi ia tetap tidak menghendaki perubahan.
Thalak juga disunnahkan ketika suami isteri berada dalam perselisihan yang cukup tegang, atau pada suatu keadaan dimana dengan thalak itu salah satu dan keduanya akan terselamatkan dan bahaya yang mengancam. Dengan turunnya ayat jul. maka seteiah empat bulan sang suami harus memilih antarakembali rnenyetubuhi isterinya dengan mernbayar kafarat sumpah atau menceraikannya.
4. Thalak Mubah
Thalak diperbolehkan (mubah) jika untuk menghindari bahaya yang mengancam salah satu pihak, baik itu suami maupun isteri. Allah SWT berfirman: Thalak (yang dapat dirujuk) adalah dua kali. Setelah itu boleh rujuk kembali dengan cara yang ma ‘ruf (baik) atau menceraikan dengan cara yang baik.(Al-Baqarah: 229)
Dalam surat yang lain Allah berfirman: Wahai Nabi, jika kamu menceraikan isteri-isterimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) masa ‘iddahnya (yang wajar)’).(Al-Thalaq: 1)
Rasulullah pernah mengatakan kepada seseorang yang mengeluh kepadanya karena perlakuan yang menyakitkan dan isteninya:
Ceraikanlah ia.” (HR. Abu Dawud, sebagai hadits shahih)
3.Macam-macam Thalak
Selanjutnya akan kami uraikan satu per satu dan macam-macam di antaranya:
a. Thalak Sunni
b. Thalak Bid’ah
c. Thalak Ba‘in
d. Thalak Raj‘i
e. Thalak Sharih
f. Thalak Sindiran
g. Thalak Munjaz dan Mu ‘allaq
h. Thalak Takhyir dan Tamlik
i. Thalak dengan Pengharaman
j. Thalak Wakalah dan Kitabah
k. Thalak Haram

4.Lafaz Thalaq
I. Jatuhnya Talaq
Yang menjatuhkan talaq itu bukanlah surat menyurat resmi dari penguasa, pengadilan atau hakim. Namun yang menjatuhkan talaq itu adalah pernyataan dari phak suami kepada istrinya. Pernyataan ini diungkapkan pada dasarnya dengan sebuah lafadz. Sebagaimana akad nikah juga ditetapkan dengan lafadz ijab dan kabul, maka putusnya hubungan suami istri pun ditetapkan dengan sebuah lafadz yang diucapkan.Sedangkan pengesahan secara hukum formal negara lewat pengadilan agama, bukanlah rujukan dalam penetapan sebuah perceraian. Apalagi surat perceraian itu sendiri biasanya baru didapat setelah dilaluinya sidang pengadilan. Padahal secara syariah Islam, begitu seorang suami mengucapkan lafadz talaq, saat itu dan detik itu juga sudah jatuh talaqnya.
II. Lafadz Talaq
Lafaz cerai itu ada dua macam :
1. Lafaz yang sharih (jelas/eksplisit).
Lafaz yang sharih misalnya,"Aku ceraikan kamu". Atau "Perinkahan kita sudah selesai" dan lainnya. Bila lafaz itu diucapkan oleh seorang suami kepada istrinya, maka jatuhlah talaq satu. Bahkan meski itu dilakukan dengan main-main.
2. Lafaz yang majazi (tidak jelas/implisit).
Lafaz tidak sharih adalah lafaz yang bisa bermakna ganda. Misalnya adalah apa yang anda sebutkan di atas. Lafaz ini baru bisa mengandung hukum bila disesuaikan dengan niatnya atau 'urf (kebiasaan) yang umumnya disepakati di suatu masyarakat. Misalnya, kata-kata,"pulanglah ke rumah orang tuamu".
Apakah lafaz ini berarti thalaq atau bukan?.
Jawabannya tergantung niat atau kebiasaan yang terjadi di masyarakat. Bila kebiasaannya lafaz itu yang digunakan untuk mencerai istri, maka jatuhlah thalak itu. Bila tidak, maka tidak. Begitu juga dengan niat, apakah ketika mengucapkan itu dia berniat menceraikan atau tidak? Sedangkan talaq tiga itu tidak terjadi sebelum jatuhnya talak satu dan dua. Memang ada sebagian ulama yang mengatakan talaq tiga bisa dijatuhkan sekaligus, namun pendapat yang kuat mengatakan bahwa thalaq itu jatuhnya satu persatu. Bila sekali menthalaq istri, maka jatuhlah thalaq satu. Selama masa waktu tiga kali masa suci dari haidh. Bila selama itu terjadi rujuk yang bentuknya bisa dengan lafaz atau bisa juga dengan perbuatan langsung, maka ruju' telah terjadi dan masih tersisa dua thalaq untuk sampai ke tahalq tiga.Selama masa iddah itu, maka istri masih merupakan hak suami untuk merujuknya dan dia tidak boleh menerima lamaran dari orang lain apalagi menikah dengan orang lain. Namun bila masa iddah telah habis, bila ingin kembali harus dengan akad nikah baru lagi dengan lamaran dan mahar baru. Barulah bila sudah dua kali kejadian yang sama, jatuhlah thalaq dua. Ini adalah batas terakhir bisa rujuk. Bila menjatuhkan lagi thalaq, maka jatuhlah thalaq tiga yang dengan ini putuslah hubungan suami istri tanpa ada masa iddah atau masa rujuk.Bahkan untuk menikah dari baru pun sudah tidak boleh. Kecuali bila ada laki-laki lain yang menikahinya dengan nikah yang sah dan sesuai syariah, bukan sekedar menjadi muhallil saja. Bila suatu hari istri dicerai oleh suami barunya itu atau ditinggal mati, barulah boleh suami yang lama itu kembali menikahinya.
5.KHULU’

A. Pengertian Khulu’
Khulu’ adalah tebusan yang dibayar oleh seorang isteri kepada suami yang membencinya, agar ia (suami) dapat menceraikannya. Allah SWT befirman:
“Mereka (isteri-isteri) adalah pakaian bagi kalian dan kalian adalah pakaian bagi mereka. (Al-Baqarah: 187)
B. Hukum Khulu’
Khulu’ diperbolehkan jika telah memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah berkata kepada isteri Tsabit bin Qais ketika ia datang kepada beiiau untuk menuturkan perihal suaminya:
Wahai Rasulullah, aku tidak mencela suamiku baik dalam hal akhlak dan agamanya, tetapi aku tidak menyukai kekufuran setelah (memeluk) Islam. Maka Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: Apakah engkau ber sedia mengembalikan kebun yang menjadi maharnya? Jamilah (isteri Tsabit) menjawab: “Ya, aku bersedia. Lalu beliau berkata kepada Tsabit, Terimnalah (wahai Tsabit) kebun itu dan ceraikanlah isterimu” (HR. Bukhari).
D. Syarat-syarat Khulu’
1. Seorang isteri meminta kepada suaminya untuk melakukankhulu’, jika tampak adanya bahaya yang mengancam dan merasa takut keduanya tidak akan rnenegakkan hukum Allah SWT.
2. Hendaknya khulu’ itu berlangsung sampai selesai tanpa adanya tindakan penganiayaan (menyakiti) yang dilakukan oleh suami terhadap isterinya. Jika ia menyakiti isterinya, maka ia tidak boleh mengambil sesuatu pun darinya.
3. Khulu’ itu berasal dan isteri dan bukan dan pihak suami. Jika suami yang merasa tidak senang hidup bersama dengan isterinya, maka suami tidak berhak mengambil sedikit pun harta dan isterinya.
4. Khulu’ sebagai thalak ba’in, sehingga suami tidak diperbolehkan meru- juknya kembali, kecuali setelah mantan isterinya menikah dengan laki-laki lain dan kemudian melalui proses akad nikah yang baru.
E. Beberapa Hukum Yang Berkenaan dengan Khulu’
1. Disunnatkan bagi suami untuk tidak mengambil harta isteri melebihi jumlah mahar yang telah diberikan kepadanya.
2. Jika khulu’ tersebut hanya sebagai lafazh khulu’ semata, maka isteri hants menunggu dalam satu masa haid berlalu.
3. Jika khulu’ itu sebagai thalak, maka menurut jumhur ulama, isteri yang dikhulu’ harus menjalani masa ‘iddahnya selama tiga kali quru’.
4. Suami yang melakukan khulu’ tidak diperbolehkan merujuk isterinya pada saat ia tengah menjalani masa ‘iddahnya.
5. Diperbolehkan bagi wali seorang wanita yang masih kecil untuk mewa- kilinya sebagai peminta khulu’ dan suaminya, jika sang wali melihat adanya bahaya yang mengancam wanita tersebut.

F. Khulu’ Menjadikan Semua Urusan Isteri Berada di Tangannya.
G. Khulu’ Pada Masa Suci dan Haid.
Khulu’ itu diperbolehkan baik pada masa suci maupun ketika haid. Khulu’ tidak memiliki waktu tertentu. Lebih dan itu, khulu’ boleh diLakukan kapan saja. Sedangkan yang dilarang pada masa haid adalah thalak. Imam Syafi’i mengatakan: “Apabila hal itu bersifat umum dan juga bersifat khusus, maka yang berlaku adaLah yang bersifat umum.” Sedangkan mengenai hal ini Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam sendiri tidak memberikan rincian, apakah Ia itu termasuk dalam keadaan haid atau tidak?
H. Mengambil Seluruh Pemberian Isteri dalam Khulu’

SEKIAN DAN TERIMA KASIH
A DROP OF INK CAN MOVE A MILLION PEOPLE TO THINK.
*****(SETETES TINTA BISA MENGGERAKAN SEJUTA MANUSIA UNTUK BERFIKIR)*****
BY: ibal n fahmi


SEMOGA ANDA SUKSES……………………….!!!!!!!!!