Selasa, 04 Januari 2011

Macam –macam Syirkah dan definisi khiyar

Kerja sama terbagi atas dua macam, yaitu Syirkah milk dan Syirkah uqud :
a. Syirkah Milk
Syirkah Milk adalah kerja sam adua orang atau lebih yang memiliki barang tanpa adanya akad syirkah . kerja sama ini meliputi dua macam, yaitu syirkah milk ikhtiyar dan syirkah milk al-jabr.
1) Syirkah milk ikhtiyar
Syirkah milk ikhtiyar adalah kerja sama yang muncul karena adanya kontrak antara dua orang yang bersekutu .

2) Syirkah milk al-jabr
Syirkah milk al-jabr adalah kerja sama yang di tetapkan kepada dua oranng atau lebih yang bukan didsarkan atas perbuatan kedunya (secara paksa).
b. Syirkah ‘Uqud
Syirkah Uqud merupakan bentuk transaksi yang terjadi antara dua orang atau lebih bersekutu dalam harta dan keuntungannya. Syirkah Uqud mempunyai lima bentuk, yaitu :
(1) syirkah inân;
(2) syirkah abdan;
(3) Syirkah Mudharabah
(4) syirkah wujûh; dan
(5) syirkah mufâwadhah )

1. Syirkah InânØ
Syirkah inân adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang masing-masing memberi konstribusi kerja (‘amal) dan modal (mâl). Syirkah ini hukumnya boleh berdasarkan dalil as-Sunnah dan Ijma Sahabat (An-Nabhani, 1990: 148).
Contoh syirkah inân: A dan B insinyur teknik sipil. A dan B sepakat menjalankan bisnis properti dengan membangun dan menjualbelikan rumah. Masing-masing memberikan konstribusi modal sebesar Rp 500 juta dan keduanya sama-sama bekerja dalam syirkah tersebut.
Dalam syirkah ini, disyaratkan modalnya harus berupa uang (nuqûd); sedangkan barang (‘urûdh), misalnya rumah atau mobil, tidak boleh dijadikan modal syirkah, kecuali jika barang itu dihitung nilainya (qîmah al-‘urûdh) pada saat akad.
Keuntungan didasarkan pada kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung oleh masing-masing mitra usaha (syarîk) berdasarkan porsi modal. Jika, misalnya, masing-masing modalnya 50%, maka masing-masing menanggung kerugian sebesar 50%. Diriwayatkan oleh Abdur Razaq dalam kitab Al-Jâmi’, bahwa Ali bin Abi Thalib ra. pernah berkata, “Kerugian didasarkan atas besarnya modal, sedangkan keuntungan didasarkan atas kesepakatan mereka (pihak-pihak yang bersyirkah).” (An-Nabhani, 1990: 151).

2. Syirkah ‘AbdanØ
Syirkah ‘abdan adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang masing-masing hanya memberikan konstribusi kerja (‘amal), tanpa konstribusi modal (mâl). Konstribusi kerja itu dapat berupa kerja pikiran (seperti pekerjaan arsitek atau penulis) ataupun kerja fisik (seperti pekerjaan tukang kayu, tukang batu, sopir, pemburu, nelayan, dan sebagainya) (An-Nabhani, 1990: 150). Syirkah ini disebut juga syirkah ‘amal (Al-Jaziri, 1996: 67; Al-Khayyath, 1982: 35). Contohnya: A dan B. keduanya adalah nelayan, bersepakat melaut bersama untuk mencari ikan. Mereka sepakat pula, jika memperoleh ikan dan dijual, hasilnya akan dibagi dengan ketentuan: A mendapatkan sebesar 60% dan B sebesar 40%.
Dalam syirkah ini tidak disyaratkan kesamaan profesi atau keahlian, tetapi boleh berbeda profesi. Jadi, boleh saja syirkah ‘abdan terdiri dari beberapa tukang kayu dan tukang batu. Namun, disyaratkan bahwa pekerjaan yang dilakukan merupakan pekerjaan halal. (An-Nabhani, 1990: 150); tidak boleh berupa pekerjaan haram, misalnya, beberapa pemburu sepakat berburu babi hutan (celeng).
Keuntungan yang diperoleh dibagi berdasarkan kesepakatan; nisbahnya boleh sama dan boleh juga tidak sama di antara mitra-mitra usaha (syarîk).
Syirkah ‘abdan hukumnya boleh berdasarkan dalil as-Sunnah (An-Nabhani, 1990: 151). Ibnu Mas’ud ra. pernah berkata, “Aku pernah berserikat dengan Ammar bin Yasir dan Sa’ad bin Abi Waqash mengenai harta rampasan perang pada Perang Badar. Sa’ad membawa dua orang tawanan, sementara aku dan Ammar tidak membawa apa pun.” [HR. Abu Dawud dan al-Atsram].
Hal itu diketahui Rasulullah Shalallahu alaihi wasalam dan beliau membenarkannya dengan taqrîr beliau (An-Nabhani, 1990: 151).

3. Syirkah MudhârabahØ
Syirkah mudhârabah adalah syirkah antara dua pihak atau lebih dengan ketentuan, satu pihak memberikan konstribusi kerja (‘amal), sedangkan pihak lain memberikan konstribusi modal (mâl) (An-Nabhani, 1990: 152). Istilah mudhârabah dipakai oleh ulama Irak, sedangkan ulama Hijaz menyebutnya qirâdh (Al-Jaziri, 1996: 42; Az-Zuhaili, 1984: 836). Contoh: A sebagai pemodal (shâhib al-mâl/rabb al-mâl) memberikan modalnya sebesar Rp 10 juta kepada B yang bertindak sebagai pengelola modal (‘âmil/mudhârib) dalam usaha perdagangan umum (misal, usaha toko kelontong).
Ada dua bentuk lain sebagai variasi syirkah mudhârabah. Pertama, dua pihak (misalnya, A dan B) sama-sama memberikan konstribusi modal, sementara pihak ketiga (katakanlah C) memberikan konstribusi kerja saja. Kedua, pihak pertama (misalnya A) memberikan konstribusi modal dan kerja sekaligus, sedangkan pihak kedua (misalnya B) hanya memberikan konstribusi modal, tanpa konstribusi kerja. Kedua bentuk syirkah ini masih tergolong syirkah mudhârabah (An-Nabhani, 1990: 152).
Hukum syirkah mudhârabah adalah jâ’iz (boleh) berdasarkan dalil as-Sunnah (taqrîr Nabi Shalallahu alaihi wasalam) dan Ijma Sahabat (An-Nabhani, 1990: 153). Dalam syirkah ini, kewenangan melakukan tasharruf hanyalah menjadi hak pengelola (mudhârib/‘âmil). Pemodal tidak berhak turut campur dalam tasharruf. Namun demikian, pengelola terikat dengan syarat-syarat yang ditetapkan oleh pemodal.
Jika ada keuntungan, ia dibagi sesuai kesepakatan di antara pemodal dan pengelola modal, sedangkan kerugian ditanggung hanya oleh pemodal. Sebab, dalam mudhârabah berlaku hukum wakalah (perwakilan), sementara seorang wakil tidak menanggung kerusakan harta atau kerugian dana yang diwakilkan kepadanya (An-Nabhani, 1990: 152). Namun demikian, pengelola turut menanggung kerugian, jika kerugian itu terjadi karena kesengajaannya atau karena melanggar syarat-syarat yang ditetapkan oleh pemodal (Al-Khayyath, Asy-Syarîkât fî asy-Syarî‘ah al-Islâmiyyah, 2/66).

4. Syirkah WujûhØ
Syirkah wujûh disebut juga syirkah ‘ala adz-dzimam (Al-Khayyath, Asy-Syarîkât fî asy-Syarî‘ah al-Islâmiyyah, 2/49). Disebut syirkah wujûh karena didasarkan pada kedudukan, ketokohan, atau keahlian (wujûh) seseorang di tengah masyarakat. Syirkah wujûh adalah syirkah antara dua pihak (misal A dan B) yang sama-sama memberikan konstribusi kerja (‘amal), dengan pihak ketiga (misalnya C) yang memberikan konstribusi modal (mâl). Dalam hal ini, pihak A dan B adalah tokoh masyarakat. Syirkah semacam ini hakikatnya termasuk dalam syirkah mudhârabah sehingga berlaku ketentuan-ketentuan syirkah mudhârabah padanya (An-Nabhani, 1990: 154).
Bentuk kedua syirkah wujûh adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang ber-syirkah dalam barang yang mereka beli secara kredit, atas dasar kepercayaan pedagang kepada keduanya, tanpa konstribusi modal dari masing-masing pihak (An-Nabhani, 1990: 154). Misal: A dan B adalah tokoh yang dipercaya pedagang. Lalu A dan B ber-syirkah wujûh, dengan cara membeli barang dari seorang pedagang (misalnya C) secara kredit. A dan B bersepakat, masing-masing memiliki 50% dari barang yang dibeli. Lalu keduanya menjual barang tersebut dan keuntungannya dibagi dua, sedangkan harga pokoknya dikembalikan kepada C (pedagang).
Dalam syirkah wujûh kedua ini, keuntungan dibagi berdasarkan kesepakatan, bukan berdasarkan prosentase barang dagangan yang dimiliki; sedangkan kerugian ditanggung oleh masing-masing mitra usaha berdasarkan prosentase barang dagangan yang dimiliki, bukan berdasarkan kesepakatan. Syirkah wujûh kedua ini hakikatnya termasuk dalam syirkah ‘abdan (An-Nabhani, 1990: 154).
Hukum kedua bentuk syirkah di atas adalah boleh, karena bentuk pertama sebenarnya termasuk syirkah mudhârabah, sedangkan bentuk kedua termasuk syirkah ‘abdan. Syirkah mudhârabah dan syirkah ‘abdan sendiri telah jelas kebolehannya dalam syariat Islam (An-Nabhani, 1990: 154).
Namun demikian, An-Nabhani mengingatkan bahwa ketokohan (wujûh) yang dimaksud dalam syirkah wujûh adalah kepercayaan finansial (tsiqah mâliyah), bukan semata-semata ketokohan di masyarakat. Maka dari itu, tidak sah syirkah yang dilakukan seorang tokoh (katakanlah seorang menteri atau pedagang besar), yang dikenal tidak jujur, atau suka menyalahi janji dalam urusan keuangan. Sebaliknya, sah syirkah wujûh yang dilakukan oleh seorang biasa-biasa saja, tetapi oleh para pedagang dia dianggap memiliki kepercayaan finansial (tsiqah mâliyah) yang tinggi, misalnya dikenal jujur dan tepat janji dalam urusan keuangan (An-Nabhani, 1990: 155-156).

5. Syirkah MufâwadhahØ
Syirkah mufâwadhah adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang menggabungkan semua jenis syirkah di atas (syirkah inân, ‘abdan, mudhârabah, dan wujûh) (An-Nabhani, 1990: 156; Al-Khayyath, 1982: 25). Syirkah mufâwadhah dalam pengertian ini, menurut An-Nabhani adalah boleh. Sebab, setiap jenis syirkah yang sah ketika berdiri sendiri, maka sah pula ketika digabungkan dengan jenis syirkah lainnya (An-Nabhani, 1990: 156).
Keuntungan yang diperoleh dibagi sesuai dengan kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung sesuai dengan jenis syirkah-nya; yaitu ditanggung oleh para pemodal sesuai porsi modal (jika berupa syirkah inân), atau ditanggung pemodal saja (jika berupa syirkah mudhârabah), atau ditanggung mitra-mitra usaha berdasarkan persentase barang dagangan yang dimiliki (jika berupa syirkah wujûh).
Contoh: A adalah pemodal, berkonstribusi modal kepada B dan C, dua insinyur teknik sipil, yang sebelumnya sepakat, bahwa masing-masing berkonstribusi kerja. Kemudian B dan C juga sepakat untuk berkonstribusi modal, untuk membeli barang secara kredit atas dasar kepercayaan pedagang kepada B dan C.
Dalam hal ini, pada awalnya yang ada adalah syirkah ‘abdan, yaitu ketika B dan C sepakat masing-masing ber-syirkah dengan memberikan konstribusi kerja saja. Lalu, ketika A memberikan modal kepada B dan C, berarti di antara mereka bertiga terwujud syirkah mudhârabah. Di sini A sebagai pemodal, sedangkan B dan C sebagai pengelola. Ketika B dan C sepakat bahwa masing-masing memberikan konstribusi modal, di samping konstribusi kerja, berarti terwujud syirkah inân di antara B dan C. Ketika B dan C membeli barang secara kredit atas dasar kepercayaan pedagang kepada keduanya, berarti terwujud syirkah wujûh antara B dan C. Dengan demikian, bentuk syirkah seperti ini telah menggabungkan semua jenis syirkah yang ada, yang disebut syirkah mufâwadhah.

DEFINISI KHIYAR (HAK PILIH)

Secara etimologi, khiyar artinya: Memilih, menyisihkan, dan menyaring. Secara umum artinya adalah menentukan yang ter-baik dari dua hal (atau lebih) untuk dijadikan orientasi.

Secara terminologis dalam ilmu fiqih artinya: Hak yang dimiliki orang yang melakukan perjanjian usaha untuk memilih antara dua hal yang disukainya, meneruskan perjanjian tersebut atau membatalkannya.

MACAM-MACAM HAK PILIH
[1]. Hak Pilih Di Lokasi Perjanjian (Khiyarul Majlis)

Yakni semacam hak pilih bagi pihak-pihak yang melakukan perjanjian untuk membatalkan perjanjian atau melanjutkannya selama belum beranjak dari lokasi perjanjian. Dasarnya adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam : “Penjual dan pembeli memiliki kebebasan memilih selama mereka belum beranjak dari lokasi transaksi.?

Arti beranjak di sini adalah luas, dikembalikan kepada kebiasaan.

[2]. Hak Pilih Dalam Persyaratan (Khiyar asy-Syarth)
Yakni persyaratan yang diminta oleh salah satu dari pihak-pihak yang terkait dalam perjanjian, atau diminta masing-masing pihak untuk dirinya sendiri atau untuk pihak lain, untuk diberikan hak menggagalkan perjanjian dalam jangka waktu tertentu.

Dasar disyariatkannya hak pilih ini adalah hadits Habban bin Munqidz. Ia sering kali tertipu dalam jual beli karena ketidak-jelasan barang jualan, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan kepadanya hak pilih. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda “Kalau engkau membeli sesuatu, katakanlah, ‘Tidak ada penipuan’.” [Diriwayatkan oleh Bukhari dalam kitab al Buyu'; bab: Penipuan yang dilarang dalam jualbeli, nomor 2117. Juga dalam kitab al Hiyal, nomor 4964. Diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab al Buyu bab:orang yang tertipu dalam jual beli, nomor:1533]]

Hak pilih ini juga bisa dimiliki oleh selain pihak-pihak yang sedang terikat dalam perjanjian menurut mayoritas ulama demi merealisasikan hikmah yang sama dari disyariatkannya persyaratan hak pilih bagi pihak-pihak yang terikat tersebut. Pendapat ini ditentang oleh Zufar dan Imam Asy-Syafi’i dalam salah satu pendapat beliau. Namun pendapat mayoritas ulama dalam persoalan ini lebih tepat.

Hak pilih persyaratan masuk dalam berbagai perjanjian permanen yang bisa dibatalkan. Nikah, thalaq, khulu’ dan sejenisnya tidak menerima hak pilih yang satu ini, karena semua akad tersebut secara asal tidak bisa dibatalkan.

[3]. Hak Pilih Melihat (Khiyar ar-Ru’yah)

Maksudnya adalah hak orang yang terikat perjanjian usaha yang belum melihat barang yang dijadikan objek perjanjian untuk menggagalkan perjanjian itu bila ia melihatnya (dan tidak ber-kenan).

Untuk keabsahan hak pilih ini, dipersyaratkan dua hal: Yang menjadi objek perjanjian hendaknya merupakan benda tertentu, seperti rumah, mobil dan sejenisnya. Kedua, hendaknya benda itu memang belum dilihat saat akad.

Hak pilih melihat ini memang masih diperselisihkan oleh para ulama berdasarkan perselisihan mereka terhadap boleh tidaknya menjual barang-barang yang tidak terlihat wujudnya. Sebagian ulama membolehkannya secara mutlak. Ada juga yang justru melarangnya secara mutlak. Sebagian ulama ada yang membolehkan dengan satu persyaratan, dan bila tanpa persyaratan itu mereka melarangnya.
[4]. Hak Pilih Karena Cacat Barang (Khiyar Aib)

Hak pilih ini dimiliki oleh masing-masing dari pihak-pihak yang terikat perjanjian untuk menggagalkan perjanjian tersebut bila tersingkap adanya cacat pada objek perjanjian yang sebelumnya tidak diketahui.

Oleh sebab itu disyariatkan hak pilih terhadap cacat, sehingga bisa mengantisipasi adanya cacat yang menghilangkan kerelaan.

Cacat yang bisa ditolak dengan hak pilih ini adalah cacat yang bisa mengurangi harga barang di kalangan para pedagang. Yang menjadi barometer di sini tentu saja orang-orang yang berpengalaman di bidang perniagaan barang tersebut. Juga dipersyaratkan bahwa cacat itu sudah ada sebelum serah terima, dan hendaknya orang yang melakukan perjanjian tidak mengetahui cacat itu. Persyaratan ini sudah dapat dimaklumi secara aksio-matik.

Hak pilih terhadap cacat ini memberikan hak kepada orang yang terikat perjanjian untuk melanjutkan perjanjian tersebut atau membatalkannya.
Tetapi kalau orang tersebut sudah rela dengan adanya aib itu secara terus terang atau ada indikasi ke arah hal itu, maka hak pilih itu dengan sendirinya gugur.

[5]. Hak Pilih Menentukan Objek Perjanjian Usaha

Artinya, hak bagi pembeli atau penjual untuk memilih dengan konsekuensi persyaratan dalam perjanjian usaha yang akan dilakukannya, untuk menentukan satu dari dua atau tiga objek yang sama nilai atau harganya. Perjanjian itu berlaku pada salah satu dari dua atau tiga objek itu saja, dan salah satu dari pihak-pihak yang melakukan perjanjian tersebut berhak memilihnya.

Hak ini masih diperdebatkan juga oleh para ulama. Mayoritas ulama melarangnya, karena ketidakjelasan objek perjanjian, sehingga ibarat menjual kucing dalam karung yang itu jelas meru-sak perjanjian tersebut. Abu Hanifah membolehkan sistem ini dalam keadaan mendesak atau karena sudah menjadi kebiasaan, dengan catatan bahwa ketidakjelasan objek perjanjian itu tidak menyebabkan terjadinya pertikaian.

Keabsahan hak pilih ini bagi yang membenarkannya, membutuhkan tiga syarat:

  1. Pilihan itu hendaknya terhadap tiga macam objek atau kurang, karena itu yang menjadi kebutuhan. Bila lebih dari itu, jelas tidak sesuai dengan kebutuhan dan tidak ada alasan untuk melakukannya.
  2. Adanya perbedaan antara ketiga objek tersebut dengan penjelasan harga masing-masing barang. Adanya perbedaan itu untuk menepis adanya ketidakseriusan dalam memilih. Sementara penjelasan harga itu untuk menepis ketidakjelasan objek yang menimbulkan perselisihan.
  3. Pembatasan waktu. Abu Hanifah memberi persyaratan agar tidak lebih dari tiga hari, dianalogikan dengan hak pilih persyaratan. Namun kedua sahabat beliau lebih memilih semata-mata dibatasi waktunya saja, meskipun lebih dari tiga hari.

Mereka yang membolehkan hak pilih ini juga berbeda pendapat, apakah dalam hak pilih ini juga dipersyaratkan adanya khiyar syarth? Yakni dengan cara salah satu yang terikat perjanjian menetapkan syarat bagi dirinya untuk bisa menetapkan batasan waktu, dan hendaknya ia diberikan hak membatalkan perjanjian dalam jangka waktu tertentu, sehingga ia diberi pilihan antara memilih objek atau membatalkan. Atau tidak ada persyaratan demikian? Sehingga ia hanya memiliki kesempatan memilih atau menetapkan batasan waktu saja, namun tidak berhak menolak seluruhnya? Sedangkan mayoritas dalam madzhab ini mereka memilih pendapat terakhir ini.

CACAT DALAM PERJANJIAN USAHA

Ketika melakukan sebuah perjanjian usaha terkadang perjanjian itu diselimuti beberapa cacat yang bisa menghilangkan kerelaan sebagian pihak, atau menjadikan perjanjian itu tidak memiliki sandaran ilmu yang benar. Maka pada saat itu pihak yang dirugikan berhak membatalkan, perjanjian. Gambaran cacat itu dapat dipaparkan sebagai berikut:

PERTAMA : INTIMIDASI
Yakni mengintimidasi pihak lain untuk melakukan ucapan atau perbuatan yang tidak disukainya dengan gertakan dan ancaman.

Intimidasi itu terbukti dengan hal-hal berikut:

  1. Pihak yang mengintimidasi hendaknya mampu melaksanakan ancamannya.
  2. Orang yang diintimidasi bersangka berat bahwa ancaman itu akan dilaksanakan terhadapnya.
  3. Kalau salah satu dari dua hal ini apalagi kedua-duanya tidak ada, maka intimidasi itu dianggap main-main, tidak berpengaruh sama sekali.

Para ahli fiqih telah bersepakat bahwa berbagai kegiatan finansial yang didasari oleh suka sama suka, seperti jual beli dan sejenisnya tidak dianggap sah bila dilakukan di bawah intimidasi. Namun apakah semua kegiatan itu dibolehkan setelah hilangnya intimidasi atau tidak? Yakni apabila muncul kerelaan setelah sebelumnya diintimidasi, apakah bisa dibenarkan atau tidak? Ada perbedaan pendapat di kalangan alim ulama. Mayoritas ulama melarangnya, sementara Abu Hanifah membolehkannya.

KEDUA : KEKELIRUAN.
Cacat ini berkaitan dengan objek perjanjian usaha tertentu. Yakni dengan menggambarkan objek perjanjian dengan satu gambaran tertentu, ternyata yang tampak berkebalikan. Seperti orang yang membeli perhiasan berlian, ternyata dibuat dari kaca. Atau orang yang membeli pakaian dari sutera, ternyata hanya dibuat dari katun.

Kekeliruan itu sendiri ada dua macam:

  1. Kekeliruan yang berkonsekuensi batalnya perjanjian yang dilakukan, yakni yang perbedaannya kembali kepada perbedaan jenis objek perjanjian, atau perbedaan menyolok pada fasilitas yang menjadi objek, seperti perbedaan antara emas dengan tembaga, atau antara hewan sembelihan dengan bangkai pada perjanjian jual beli daging.
  2. Kekeliruan yang bukan pada perbedaan jenis atau perbedaan fasilitas yang menyolok, seperti orang yang membeli hewan jantan, ternyata hewannya betina, atau sebaliknya. Kekeliruan ini tidaklah membatalkan perjanjian tersebut, akan tetapi pihak yang dirugikan berhak untuk membatalkannya.

KETIGA : GHUBN (PENYAMARAN HARGA BARANG)
Ghubn secara bahasa artinya adalah pengurangan. Dalam terminologi ilmu fiqih, artinya adalah pengurangan pada salah satu alat kompensasi, atau barter antara dua alat kompensasi dianggap tidak adil karena tidak sama antara yang diberi dengan yang diterima. Seperti orang yang menjual rumah seharga sepuluh juta padahal hartanya hanya delapan juta. Dari pihak orang yang melakukan penyamaran harga, berarti memindahkan kepemilikan barang dengan kompensasi lebih dari harga barang. Sementara dari pihak yang menjadi korban penyamaran harga barang, memiliki barang dengan harga lebih mahal dari harga sesungguhnya barang tersebut.

Penyamaran harga barang itu sendiri menurut kalangan ahli fiqih ada dua macam : Penyamaran berat dan penyamaran ringan.

Penyamaran Ringan : Yakni penyamaran pada harga barang yang tidak sampai mengeluarkannya dari harga pasaran, yakni harga yang diperkirakan oleh orang-orang yang berpengalaman di bidang perniagaan.

Penyamaran Berat Yakni yang sampai mengeluarkan barang dari harga pasarannya. Penyamaran harga barang semacam ini tentu saja membatalkan perjanjian yang subjeknya adalah sebagai harta waqaf atau harta orang yang dicekal, atau harta Baitul Mal, karena pengoperasian harta-harta semacam ini harus berada dalam lingkaran kemaslahatan harta tersebut.

Adapun dalam perjanjian-perjanjian usaha lain, masih diperselisihkan pengaruh penyamaran berat ini terhadapnya. Ada tiga pendapat yang popular :

  1. Penyamaran harga semacam itu tidak ada pengaruhnya sama sekali, demi menjaga kepentingan berlangsungnya perjanjian usaha yang dilakukan dan menjaganya agar tidak batal. Karena orang yang menjadi korban penyamaran harga barang itu tidak lepas dari sikap teledor dan terburu-buru. Untuk itu ia juga harus menanggung akibat perbuatannya itu.
  2. Orang yang menjadi korban penyamaran harga barang itu berhak membatalkan perjanjian, untuk melepaskan sikap semena-mena terhadap dirinya.
  3. Penyamaran harga barang ini bisa dimasukkan hitungan bila tujuannya adalah penipuan dari satu pihak, pihak yang menjadi korban berhak membatalkannya. Kalau tidak dengan niat menipu pembeli, maka tidak ada pengaruh apa-apa. Kemungkinan inilah pendapat yang paling pas dari semua pendapat di atas. Wallahu A’lam.

Barometer pembedaan antaran penyamaran ringan dengan berat adalah kebiasaan. Karena tidak ada batasan paten dalam persoalan ini.

Maraji :

Disalin dari buku Ma La Yasa’ut Tajiru Jahluhu, edisi Indonesia Fikih Ekonomi Keuangan Islam oleh Prof.Dr.Abdullah al-Muslih dan Prof.Dr.Shalah ash-Shawi, Penerjemah Abu Umar Basyir, Penerbit Darul Haq, Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar